Tiba-tiba saja Ilham kaget melihat reaksi raut muka mukidi ketika ia menyapanya di acara walimahan tadi sore. Ilham mencari-cari apa kesalahannya terhadap mukidi selama ini, hingga membuat mukidi pasang muka tidak mengenakkan terhadap dirinya.
“Ada ……..”, jawab isterinya. “Tapi sampyan lupa”
“Apa?” tanya Ilham.
“Ya ndak tahu, cari sendiri ….. yang paling tahu jawabannya ya sampyan sendiri. Pokoknya ada tapi sampyan lupa atau mungkin sampyan kurang peka aja, kalau tindakan atau ucapan sampyan itu membuat Mukidi jadi marah sama sampyan” Balas isterinya, dengan gaya tak kalah dengan Mario Teguh.
“Apa ya salahku pada Mukidi …. “ gumam Ilham pada diri sendiri.
Kegalauan hati Ilham memang dapat dimaklumi. Mukidi sudah Ilham anggap sebagai saudara sendiri. Mereka sama-sama melewati masa kanak-kanak, remaja, dewasa bahkan sampai sekarang sudah beranak pinak di lingkungan yang sama. Karena itulah kadang keduanya tak bisa lepas dari saling curhat, memberi dan menerima. Saling membantu. Bahkan garis keturunan Ilham dan Mukidi bertemu di Kakek Buyut yang sama.
“Apa ya salahku pada Mukidi ……” “…. ada tapi sampyan lupa ………..”
“Apa ya salahku pada Mukidi ……” “…. ada tapi sampyan lupa ………..”
“Apa ya salahku pada Mukidi ……” “…. ada tapi sampyan lupa ………..”
Keesokan harinya Ilham sehabis menunaikan sholat subuh, bergegas ke dapur menghampiri sang isteri yang lagi sibuk menyiapkan sarapan seperti biasanya. “Bu …. “ Kata Ilham pada isterinya
“Ada apa pak?
“Semalam aku bermimpi, Mukidi kok menunjuk-nunjuk aku bu ….. ” Jawab Ilham. Sambil berkata “Jangan panggil aku Mukidi ! Jangan panggil aku Mukidi ! Jangan panggil aku Mukidi !” begitu katanya bu “
“Itu dia jawabannya …..” Kata isterinya dengan gaya pengamat politik yang gagal nyalon jadi pejabat
“Maksudnya apa bu ? Tanya Ilham.
“Pak … Pak … sampyan kok kurang sensi. Mukidi kan baru saja pulang Haji. Tentu dia pingin dipanggil dengan sebutan pak Haji, pak Kaji, atau Ji ……” Jawab isterinya.
“Ooo a lah, Mukidi …… Mukidi ……..
0 komentar:
Post a Comment