Haji adalah ibadah yang sangat berat. Tidak saja fisik yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tetapi juga dana yang harus disediakan untuk melakukan ibadah ini juga cukup banyak. Hal inilah yang membuat tidaksetiap muslim dapat melakukannya. Hanya orang-orang yang mempunyai dana yang cukup saja yang dapat melakukannya. Allah Maha Adil, karena haji hanya diwajibkan kepada muslim yang mampu melakukan perjalanan haji saja.
Melakukan ibadah haji dengan persiapan fisik dan mental ruhani yang sempurna, akan mempunyai peluang yang sangat besar meraih predikat haji mabrur. Sayangnya di jaman sekarang ini umumya (tidak semua lho) orang melakukan ibadah haji hanya sebagai alat untuk meningkatkan status sosial di masyarakat. Orang tidak berusaha keras untuk mencari dan mendapatkan hikmah dari rahasia-rahasia haji. Bahkan sebagian orang ada yang tidak memandang penting ritual-ritual atau rukun haji yang harus dilakukannya. Yang penting sudah dapat sampai ke tanah suci dan pulang membawa gelar haji, bahkan ada yang memandang penting sekali untuk mendapatkan sertifikat haji untuk dipajang di ruang tamu. Tak heran kita sering mendengar berita-berita negatif yang dilakukan oleh orang-orang yang bergelar H (haji) di depan namanya. Sayang seribu sayang.
Haji dalam pandangan masyarakat umum tentu akan sangat berbeda dengan pandangan para syaikh Sufi. Dalam pandangan seorang Sufi, ibadah haji dipandang tidak hanya sebuah ibadah yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan fisik saja, namun juga segi spiritualismenya tidak kalah penting. Di bawah ini ada sebuah percakapan seseorang yang baru pulang sehabis melakukan ibadah haji dengan seorang Sufi masyhur bernama Syaikh Junayd Al-Baghdadi.
Di kitab karangan syaikh Al-Hujwiri yang berjudul Kasyful Mahjub diceritakan ada seseorang yang datang kepada seorang syaikh sufi yang sangat terkenal yaitu Syaikh Junayd Al-Baghdadi. Sang sufi bertanya kepada orang tersebut dari mana ia datang. Orang tersebut menjawab ; “Aku baru saja melakukan ibadah haji”
Mendapatkan jawaban seperti itu sang sufi itu kemudian berkata; “Dari saat ketika engkau pertama kali berjalan dari rumahmu, apakah engkau juga telah meninggalkan semua dosa?”
Orang tersebut menjawab ; “Tidak.”
“Lalu, kata sang Syaikh , “Berarti engkau tidak membuat perjalanan. Di setiap tahap dimana engkau beristirah di malam hari, apakah engkau telah melintasi sebuah maqam di jalan menuju Allah?”
Ia menjawab ; “Tidak.”
Sang Syaikh kembali berkata, “Berarti engkau tidak menempuh perjalanan tahap demi tahap. Ketika engkau mengenakan pakaian haji (ihram) di tempat yang ditentukan, apakah engkau membuang sifat-sifat manusiawi sebagaimana engkau melepaskan pakaian-pakaian sehari-harimu?”
“Tidak”. Katanya.
Sang Syakih kembali berkata, “Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji. Ketika engkau singgah di Arafat, apakah engkau telah singgah barang sebentar dalam musyahadat kepada Tuhan?” Tanya sang sufi lagi.
“Tidak” , jawabnya.
“Berarti engkau tidak singgah di Arafat. Ketika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsu?”
“Tidak” , jawab orang itu.
“Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika engkau mengelilingi Ka’bah, apakah engkau sudah memandang keindahan non material Tuhan di tempat suci?”
“Tidak”
“Berarti engkau tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika engkau lari antara Shafa dan Marwa, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian (Shafa) dan kebajikan (Muruwwat)?”
“Tidak”
“Berarti engkau tidak lari. Ketika engkau telah datang ke Mina, apakah semua keinginanmya telah (munyatsa) sirna?”
“Tidak”
“Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengorbankan hawa nafsu?”
“Tidak”
“Berarti engkau tidak berkurban. Ketika engkau melemparkan batu-batu, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?”
“Tidak”
“Berarti engkau belum melemparkan batu-batu, dan engkau belum melakukan ibadah haji. Kembalilah dan lakukan ibadah haji seperti yang telah kugambarkan agar bisa sampai pada maqam Ibrahim.”
Itulah perspektif dan makna haji beserta hikmah yang dikandungnya dibalik ritual-ritual yang berhubungan dengan ibadah haji, dari seorang Sufi besar pada jamannya bahkan sampai sekarang. Melihat dari percakapan tersebut di atas, terlihat betapa pentingnya untuk menata hati dan jiwa dengan sebaik-baiknya bersamaan dengan ketika seseorang menjalankan setiap rukun haji yang harus dijalaninya. Semoga bermanfaat.
Sumber : Kasyful Mahjub Karya Al-Hujwiri
0 komentar:
Post a Comment