Abul Hasan Ahmad bin Abil Hawari

Dia adalah seorang Syaikh Syiria yang paling terkemuka dan paling dipuji oleh semua Sufi terkemuka. Junayd berkata : “Ahmad bin Abil Hawari adalah rayhan (tumbuhan yang harum baunya) dari Syiria.” Murid Abu Sulayman Darani dan bergabung dengan Sufyan bin ‘Uyaynah dan Marwah bin Mu’awiyah, pembaca Al-Qur’an (qori’). Dia juga seorang ahli ibadah pengembara (sayyah). Diriwayatkan bahwa dia berkata : “Dunia ini adalah onggokan kotoran dan tempat berkumpulnya anjing-anjing; dan orang yang enggan meninggalkan tempat itu lebih renda dari seekor anjing, sebab seekor anjing mengambil apa ia ingini lalu ia pergi, sedang pecinta dunia tak pernah meninggalkannya barang sesaat pun.” Semula dia adalah seorang siswa dan lalu mencapai tingkatan imam, tetapi sesudah itu dia melemparkan semua buku-bukunya ke laut, dan berkata : “Engkau semua adalah pemandu-pemandu yang baik, namun tak mungkin memandu seseorang sesudah orang itu mencapai tujuan,” karena pemandu dibutuhkan selama murid menempuh perjalanan ; apabila tempat suci terlihat, jalan raya dan pintu gerbang tidak berarti lagi. Syaikh-syaikh mengatakan bahwa Ahmad berlaku seperti ini dalam keadaan mabuk (sukr). Di jalan mistik, dia yang berkata, “Aku telah sampai”, maka ia telah sesat. Karena, sampai adalah ketidaksempurnaan, upaya adalah kesulitan (yang berlebih-lebihan), bebas dari upaya adalah menganggur, dan dalam kasus apa saja maka prinsip kesatuan (wushul) adalah ketidakberadaan karena upaya dan lawannya adalah kualitas-kualitas manusiawi. Bersatu dan berpisah  bergantung pada kehendak kekal dan dukungan Tuhan. Oleh sebab itu, tidak mungkin mencapai kesatuan dengan Tuhan. Istilah “kedekatan” tak bisa diterapkan pada Tuhan. Seorang manusia bersatu dengan Tuhan apabila Tuhan menghormatinya, dan terpisah dari Tuhan apabila Tuhan tidak menghormatinya. Aku, ‘Ali bin ‘Utsman Al-Jullabi, mengatakan bahwa kemungkinan maksud Syeikh terkemuka itu dalam menggunakan kata “kesatuan” (wushul) adalah “menemukan jalan menuju Tuhan” karena jalan menuju Tuhan tidak dijumpai dalam kitab-kitab ; dan bilamana jalan sudah terbentang lebar, maka keterangan tidak diperlukan. Orang-orang yang telah mencapai pengetahuan hakiki tak perlu berbicara, dan malahan buku-buku kurang berarti. Syeikh-syeikh yang lain telah bertindak seperti Ahmad bin Abil Hawari, umpamanya Syeikhul akbar Abu Sa’id Fadlallah bin Muhammad Al-Mayhani, dan mereka ditiruoelh sejumlah kaum dhahiriyah yang tujuannya hanya memuaskan kemalasan dan kebodohan mereka. 
 


Agaknya Syeikh-syeikh yang mulia itu bertindak karena keinginan untuk melepaskan ikatan-ikatan duniawi dan mengkosongkan kalbu-kalbu mereka dari segalanya kecuali Tuhan. Namun hal ini hanya tepat dalam keadaan mabuk pada masa permulaan (ibtida’) dan dalam gejolak masa remaja. Orang-orang yang telah mantap (mutamakhin) tak tertabiri (dari Tuhan) oleh seluruh alam semesta: apalagi oleh selembar kertas. Bisa dikatakan bahwa rusakanya sebuah buku menandakan ketidakmungkinan mengungkapkan makna hakiki (sebuah gagasan). Dalam keadaan itu, ketidakmungkinan yang sama harus dikatakan berkenaan dengan lidah karena kata-kata yang diucapkan tidaklah lebih baik daripada kata-kata yang ditulis. Aku bayangkan Ahmad bin Abil Hawari, yang tak medapat pendengar dalam ekstasinya, menuliskan keterangan tentang perasaan-perasaannya di lembaran-lembaran kertas, dan setelah bertumpuk-tumpuk kertas, lembaran- lemnbaran kertas itu dipandangnya sebagai tidak layak untuk diungkapkan, dan karenanya dia mencampakkan lembaran-lembaran kertas itu ke dalam air. Mungkin juga dia telah mengumpulkan banyak buku yang melalaikan dia dari amalan-amalan badahnya, dan dia menyingkirkan buku-buku itu untuk alasan ini.

Diambil dari "Kasyful Mahjub" Al-Hujwiri ; Terjemahan Suwardjo Muthary & Abdul  Hadi, WM.
Suara Tokoh21
Suara Tokoh Updated at: 11:40 AM
Abul Hasan Ahmad bin Abil Hawari | Suara Tokoh | 5

0 komentar:

Post a Comment