Niat seseorang dalam beribadah, tidak ada orang lain yang
mengetahuinya kecuali yang bersangkutan dan Allah SWT. Niat seseorang dalam
melakukan sesuatu atau ibadah kepada Allah SWT khususnya, akan mempengaruhi
kualitas keseluruhan dari ibadah tersebut. Seorang yang mukmin baik harus
menata niatnya sebaik mungkin sebelum melakukan sesuatu agar apa yang akan
dilakukannya mendapatkan hasil yang maksimal khususnya dari segi ruhaninya.
Ketulusan dan keikhlasan hanya karena Allah SWT itulah
yang terbaik dari segala amalan. Niat dengan tingkatan yang seperti inilah,
harapan kita semua. Bisa saja seseorang mengklaim niat-nya dalam melakukan
sesuatu hanya karena Allah SWT, karena pada kenyataannya tidak ada yang dapat
mengetahuinya secara pasti kecuali dirinya dan Allah SWT.
Niat mempunyai kedudukan yang sangat penting dari suatu ibadah. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa ada tiga tingkatan niat. Imam Ja’far Ash-Shadiq diriwayatkan pernah mengatakan, “ada tiga macam orang beribadah. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut kepada-Nya. Ibadah mereka ini adalah ibadah para budak dan hamba sahaya. Ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah demi memperoleh balasan dan ganjaran. Ibadah mereka ini adalah ibadah para pedagang. Ada sebagian orang lagi yang beribadah kepada Allah karena cinta kepada-Nya semata. Inilah ibadah orang-orang merdeka.”
Niat mempunyai kedudukan yang sangat penting dari suatu ibadah. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa ada tiga tingkatan niat. Imam Ja’far Ash-Shadiq diriwayatkan pernah mengatakan, “ada tiga macam orang beribadah. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut kepada-Nya. Ibadah mereka ini adalah ibadah para budak dan hamba sahaya. Ada sebagian orang yang beribadah kepada Allah demi memperoleh balasan dan ganjaran. Ibadah mereka ini adalah ibadah para pedagang. Ada sebagian orang lagi yang beribadah kepada Allah karena cinta kepada-Nya semata. Inilah ibadah orang-orang merdeka.”
Jika dipikirkan lebih mendalam, tampaklah bahwa ada dua macam ibadah. Satu di antaranya sama sekali tidak bisa disebut sebagai artian yang sesungguhnya, sebab mereka yang melakukan jenis ibadah ini sebetulnya adalah orang yang menyembelih diri sendiri. Mereka beribadah didorong oleh kepentingan diri sendiri. Karena orang-orang yang menyembah diri sendiri tidak bisa dan mustahil menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah, maka mereka malahan bisa dipandang sebagai orang-orang yang tak beriman.
Al-Qur’an melukiskan ibadah kepada Allah sebagai watak dan fitrah manusia. Pada saat yang sama, Al-Qur’an menafikan adanya kemungkinan perubahan dalam sifat-sifat bawaan manusia sejak lahir :Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS 30:30).
Karena itu, suatu amal ibadah yang lahir dari kepentingan
diri bukan hanya menyimpang dari jalan kepatuhan kepada Allah, melainkan juga
menyimpang dari jalan monoteisme, sebab orang-orang yang mementingkan diri
sendiri ini jelas tidak beriman kepada keesaan Allah (tauhid) dalam segenap
perbuatan dan sifat-Nya lantaran nmereka menyekutukan Allah dengan sesuatu
lainnya. Al-Qur’an menegaskan keesaan Allah (tauhid) dan menafikan adanya
sekutu bagi-Nya. Dua kelompok pertama orang-orang yang beribadah tersebut
memandang Allah sebagai sekutu mereka dalam mencapai semua tujuan mereka serta
tidak membuang sikap membesar-besarkan diri bahkan dalam beribadah kepada-Nya sekalipun. Mereka mempunyai tujuan
ganda. Dan inilah yang disebut sebagai politeisme atau syirik, yang menurut
Al-Qur’an merupakan dosa yang tak terampuni. Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang
dikehendaki-Nya, … (QS 4:48, 116).
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa ibadah yang dilakukan oleh dua kelompok pertama tidak banyak membuahkan hasil dan tidak bakal mendekatkan diri sang hamba kepada Allah.
Akan halnya kelompok ketiga yang beribadah kepada Allah
karena cinta kepada-Nya semata, maka ibadah mereka adalah ibadah orang-orang
merdeka dan-menurut sebuah riwayat- ibadah yang paling mulia. “Inilah kedudukan
tersembunyi yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang suci.” Cinta berarti
ketertarikan atau-dalam ungkapan lain- tertarik oleh seseorang atau kebenaran.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang mencintai Allah dan cenderung kepada-Nya. Mereka tidak punya tujuan lain kecuali tertarik oleh-Nya dan memperoleh keridhaan-Nya. Motif mereka adalah Kekasih Hakiki dan mereka berupaya bergerak menuju kepada-Nya.
Sebagian riwayat menuturkan bahwa Allah haruslah disembah karena Dia memang berhak dan layak untuk disembah. Dia pantas dan patut untuk disembah karena sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain, Dia disembah karena Dia adalah Allah.
Imam ‘Ali mengatakan, “Ya Allah! Aku menyembah-Mu bukan lantaran takut kepada neraka-Mu, pun bukan pula menginginkan surga-Mu. Aku menyembah-Mu karena Engkau memang layak dan berhak disembah. Engkau sendiri yang membimbing dan menyeruku kepada-Mu. Sekiranya bukan karena Engkau, pastilah aku tidak mengetahui siapa diri-Mu.”
Sumber : "Menapak Jalan Spiritual" Murtadha Muthahhari dan S.M.H. Thabathaba'i
0 komentar:
Post a Comment