Baik dan buruk menyertai kehidupan manusia. Keberadaan yang
buruk tidak sesuai dengan kebaikan yang melekat
padaTuhan. Untuk menghindari kesulitan ini, kaum Zoroaster menganggap bahaya
cahaya dan kebaikan berasal dari Yazdan, sedang kegelapan dan keburukan dari
Ahriman (Angra Mainyu). Namun keberadaan kedua prinsip yang setingkat dan
netral itu sendiri melibatkan suatu ketidaksesuaian metafisis. Penolakan terhadap
pandangan dasar masalah ini, Nasir Al Din Tusi menjelaskan realitas dan
obyektifitas keburukan dengan dorongan dari Ibnu Sina, leluhur spiritualnya.
commonsmedia.org |
Menurut Nasir Al-Din Tusi, segala sesuatu yang baik itu datangnya
dari Tuhan, sedangkan yang buruk itu ada sebagai kebetulan dalam perjalanan
yang baik itu. Tusi menggambarkan hakekat baik dan buruk sebagai berikut, “ Kebaikan, misalnya, laksana biji gandum
yang ditaburkan di atas tanah dan kemudian disirami kemudian tumbuh menjadi
tanaman dan menghasilkan panen yang melimpah. Keburukan itu seperti busa yang
muncul di atas permukaan air. Busa jelas berasal dari gerakan air, bukan dari
air itu sendiri. Dengan begitu maka sejatinya tidak ada prinsip buruk di dunia
ini, tapi yang ada adalah suatu
kebetulan ia merupakan suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari sesuatu.”
Di kehidupan manusia, keburukan kadang terjadi lantaran kesalahan persepsi atau penyalahgunaan karunia dari Tuhan yang berupa kehendak bebas. Tuhan menghendaki kebaikan yang menyeluruh, tapi selubung (tabir) indera, imajinasi, kesenangan dan pikiran menutupi pandangan kita dan mengaburkan pandangan mental kita. Dengan begitu maka kebijaksanaan tidak dapat memperkirakan akibat-akibat dari tindakan, yang mengakibatkan adanya kesalah pilihan, yang pada pada akhirnya keburukan itu muncul.”
Lagi, penilaian kita mengenai keburukan selalu relatif sifatnya dan juga metaforis (konotatif), yaitu bahwa penilaian selalu mengacu pada sesuatu. Misalnya saja -ketika api membakar gubuk milik seorang miskin atau banjir melanda sebuah desa, suatu pemburukan ditimpakan kepada keduanya (air dan api). Kenyataannya tidak ada keburukan pada keduanya ; sebaliknya ketiadaan keduanya akan merupakan suatu keburukan penuh bila dibandingkan dengan keburukan yang kadang ditimbulkan oleh keberadaan keduanya.
Akhirnya, keburukan muncul dari kebodohan, atau akibat dari cacat fisik, atau kekurangan sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan. Ketakhadiran siang adalah malam, kekurangan harta adalah kemisknan, dan ketiadaan kebaikan adalah keburukan. Oleh karena itu pada hakekatnya, kebaikan merupakan ketiadaan sesuatu-sesuatu yang negatif, bukan positif.
Mengenai mengapa suatu dosa yang terbatas dikenai hukuman yang tak terbatas dari Tuhan, Tusi menjawab bahwa merupakan suatu kekeliruan untuk menisbahkan pahala atau hukuman kepada Tuhan sebagaimana yang baik, pada dasarnya dan mesti, pantas menerima karunia dan kebahagiaan abadi, maka yang tidak baik (buruk) juga, pada dasarnya dan mestinya, pantas menerima hukuman dan kesedihan abadi pula.
Di kehidupan manusia, keburukan kadang terjadi lantaran kesalahan persepsi atau penyalahgunaan karunia dari Tuhan yang berupa kehendak bebas. Tuhan menghendaki kebaikan yang menyeluruh, tapi selubung (tabir) indera, imajinasi, kesenangan dan pikiran menutupi pandangan kita dan mengaburkan pandangan mental kita. Dengan begitu maka kebijaksanaan tidak dapat memperkirakan akibat-akibat dari tindakan, yang mengakibatkan adanya kesalah pilihan, yang pada pada akhirnya keburukan itu muncul.”
Lagi, penilaian kita mengenai keburukan selalu relatif sifatnya dan juga metaforis (konotatif), yaitu bahwa penilaian selalu mengacu pada sesuatu. Misalnya saja -ketika api membakar gubuk milik seorang miskin atau banjir melanda sebuah desa, suatu pemburukan ditimpakan kepada keduanya (air dan api). Kenyataannya tidak ada keburukan pada keduanya ; sebaliknya ketiadaan keduanya akan merupakan suatu keburukan penuh bila dibandingkan dengan keburukan yang kadang ditimbulkan oleh keberadaan keduanya.
Akhirnya, keburukan muncul dari kebodohan, atau akibat dari cacat fisik, atau kekurangan sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan. Ketakhadiran siang adalah malam, kekurangan harta adalah kemisknan, dan ketiadaan kebaikan adalah keburukan. Oleh karena itu pada hakekatnya, kebaikan merupakan ketiadaan sesuatu-sesuatu yang negatif, bukan positif.
Mengenai mengapa suatu dosa yang terbatas dikenai hukuman yang tak terbatas dari Tuhan, Tusi menjawab bahwa merupakan suatu kekeliruan untuk menisbahkan pahala atau hukuman kepada Tuhan sebagaimana yang baik, pada dasarnya dan mesti, pantas menerima karunia dan kebahagiaan abadi, maka yang tidak baik (buruk) juga, pada dasarnya dan mestinya, pantas menerima hukuman dan kesedihan abadi pula.
Sumber : "Buku Para Filosof Muslim"