Karena sudah ditunjukkan bahwa
kedua macam keajaiban itu tidak bisa ditampilkan oleh seorang gadungan, kini
kami harus membedakan lebih jelas lagi kedua. Mukjizat melibatkan publisitas
sedangkan karomah melibatkan kerahasiaan, karena akibat dari yang pertama ialah
mempengaruhi orang lain, sementara akibat dari yang kemudian dikhususkan bagi
orang yang menampilkan karomah itu. Lagi pula, pelaku mukjizat benar-benar
yakin bahwa ia telah menampilkan suatu keajaiban yang luar biasa, sementara
pelaku karomah tak bisa pasti apakah ia telah sungguh-sungguh menampilkan suatu
keajaiban atau apakah ia secara tak terasa tertipu (istidroj). Ia yang
memperlihatkan mukjizat mempunyai wewenang atau hukum.
Pada pihak lain, ia yang
memperlihatkan karomah tak ada pilihan lain kecuali menyerahkan dirinya (kepada
kehendak Tuhan) dan menerima peraturan-peraturan yang diwajibkan kepadanya,
karena karomah wali bagaimanapun juga tak pernah bertentangan dengan hukum yang
dipancangkan oleh seorang nabi. Bisa
dikatakan: “Jika mukjizat merupakan bukti kebenaran seorang nabi, dan jika
sungguhpun demikian engkau menyatakan bahwa keajaiban-keajaiban sejenis bisa
ditampilkan oleh seorang yang bukan nabi, lalu keajaiban-keajaiban itu menjadi
peristiwa yang luar biasa (mu’tad); maka, hujahmu tentang realitas
mukjizat menghapuskan argumenmu yang mengukuhkan realitas karamah.” Kujawab:
“Bukan ini masalahnya.
Karamah seorang wali sama dengan, dan menunjukkan bukti
yang sama seperti mukjizat seorang nabi: kualitas i’jaz (yang tidak bisa
ditiru) yang ditunjukkan pada satu contoh tidak mengurangi kualitas yang sama
dalam contoh yang lain.” Ketika orang-orang kafir menempatkan Khubayb pada
tiang gantungan di Makkah, Rasul yang ketika itu sedang berada di dalam masjid
madinah, melihatnya dan memberitahu para sahabat apa yang terjadi padanya.
Tuhan juga menyingkapkan tabir dari mata Khubayb, sehingga ia melihat Rasul dan
berseru, “Assalamu’alaikum!” dan Tuhan menyebabkan rasul mendengar salamnya,
serta menyebabkan Khubayb mendengar jawaban Rasul. Nah, fakta bahwa Rasul di
Madinah melihat Khubayb di Makkah adalah mukjizat, dan fakta bahwa Khubayb di
Makkah melihat Rasul di Madinah juga merupakan suatu tindakan yang luar biasa.
Karena itu, tidak ada perbedaan antara ketidakhadiran dalam waktu dan
ketidakhadiran dalam tempat, karena karomah Khubayb ditampilkan ketika ia tidak
berada dalam tempat yang sama dengan Rasul, dan karomah pada masa-masa kemudian
ditampilkan oleh orang-orang yang tidak sejaman dengan Rasul. Inilah perbedaan
yang jelas dan bukti yang nyata bahwa karomah tak akan mungkin bertentangan
dengan I’jaz (keajaiban yang ditampakkan oleh seorang nabi).
Karomah tidak
terkukuhkan kecuali karomah itu bersaksi atas kebenaran orang yang telah
memperlihatkan mukjizat dan karomah tidak dianugerahkan kecuali kepada seorang
mukmin sejati yang membawa kesaksian semacam itu. Karomah kaum muslim merupakan
suatu keajaiban yang luar biasa (mukjizat). Dari Rasulullah, karena sebagaimana
hukumnya senantiasa, tentu bukti kebenarannya (hujjaj) juga senantiasa berlaku.
Wali adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasul, dan tidaklah mungkin karomah akan
diperlihatkan oleh seorang yang kafir (begana).
Pada topik ini ada sebuah kisah
tentang Ibrahim Khawwas, yang sangat tepat untuk dipaparkan di sini. Ibrahim
berkata : “Aku pergi mengarungi padang pasir yang merupakan hal biasa bagiku
dalam rangka melepaskan diri dari urusan-urusan duniawi (tajrid). Setelah ku
berjalan beberapa jauh, aku bertemu seseorang dan ia meminta agar ia diijinkan
menemaniku. Kulihat ia, dan terasa ada sesuatu yang tidak enak di hati. Ia
berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim, jangan gelisah. Aku seorang Kristen, dan
salah seorang Sabian (pendeta). Aku berasal dari Rum dengan harapan menjadi
sahabatmu.” Ketika tahu bahwa ia seorang kafir, aku malah tenang, dan merasa
lebih mudah bersahabat dengannya dan memenuhi kewajiban-kewajibanku kepadanya.
Aku berkata ; “Wahai pendeta, aku takut jangan-jangan engkau akan menderita
karena kurang makan dan minum, karena aku tak punya apa-apa. “Wahai Ibrahim”
katanya, “Betapa masyhur engkau di dunia, dan masihkah engkau mencemaskan soal
makan dan minum? ” Aku kagum akan keteguhan hatinya dan menerimanya sebagai
sahabatku supaya dapat menguji pernyataannya. Setelah berjalan tujuh hari tujuh
malam, kami ditimpa kehausan. Ia berhenti dan berseru ; “Wahai Ibrahim, mereka meniupkan
nafiri pujian terhadapmu ke seluruh dunia. Nah biarlah kusaksikan hak-hak
istimewa kedekatan (hustakhiha) yang kau miliki di istana ini (yakni seberapa
jauh engkau ridho dengan Tuhan), karena aku rasa-rasanya tak dapat bertahan
lagi.” Kurebahkan kepalaku di tanah dan berseru “Ya Tuhan, jangan Kau
permalukan aku di hadapan orang kafir ini yang berprasangka baik terhadap
diriku!” Ketika kuangkat kepalaku, kulihat sebuah talam berisi dua potong roti
dan dua cangkir air. Kami makan dan minum, dan kemudian meneruskan perjalanan.
Setelah tujuh hari berjalan, aku memutuskan akan mengujinya sebelum ia
memaksaku untuk membuktikan diri lagi. “Wahai pendeta” kataku, “Kini ganti
engkau”. “Biar kulihat hasil-hasil mujahadahmu.” Dia merebahkanb kepalanya di
atas tanah dan mulutnya komat kamit mengucapkan sesuatu. Tak lama kemudian
muncul sebuah talam berisi empat potong roti dan empat cangkir air. Aku kagum
campur cemas dan putus asa dengan keadaan diriku. “Ini terjadi,”kataku,
“Walaupun dia seorang kafir, bagaimana aku bisa makan atau minum darinya?” Dia
menyuruhku mencicipinya, tetapi aku menolak, seraya mengatakan, “Engkau tidak
patut seperti ini, dan ini tidak selaras dengan keadaan rohanimu.” Jika aku
menganggapnya sebagai karomah, karomah tidak dianugerahkan kepada orang kafir,
dan jika menganggapnya sebagai pertolongan (ma’onah), aku harus mencurigaimu
jangan-jangan engkau seorang gadungan. Dia berkata : “Rasakan, wahai Ibrahim!”
Kuberikan kepadamu dua kesenangan ; “Pertama, masuknya aku ke dalam Islam (di
sini ia mengucapkan syahadat), dan kedua, kehormatan besar sebagaimana engkau
dimuliakan oleh Tuhan.” Bagaimana bisa begitu?” tanyaku. Dia menjawab : “Aku
tak punya kekuatan-kekuatan yang menakjubkan, tetapi rasa Maluku kepadamu
membuat aku merebahkan kepalaku ke tanah dan memohon kepada Tuhan untuk
memberikan kepadaku dua potong roti dan dua cangkir air, jika agama Muhammad
benar, dan dua potong roti dan dua cangkir lagi jika Ibrahim Khawwas salah
seorang wali Allah.” Kemudian Ibrahim makan dan minum, dan orang yang menjadi
pendeta itu sadar akan kebenaran dan kemuliaan Islam.
Nah, hal yang menyalahi kebiasaan
ini meskipun berkenaan dengan karomah seorang wali, adalah sama dengan mukjizat
yang ditampilkan oleh nabi-nabi, tetapi jarang terjadi, dalam tidak adanya
seorang nabi, bukti dianugerahkan kepada orang lain, atau dalam kehadiran
seorang wali, sebagian kekuatan mukjizati nabi dialihkan kepada orang lain.
Sebenarnya, akhir kewalian hanyalah permulaan kenabian. Pendeta itu adalah
salah seorang (wali) yang tersembunyi, seperti ahli-ahli sihirnya Fir’aun.
Ibrahim mengukuhkan kekuatan nabi Muhammad saw. Untuk menyalahi kebiasaan dan
sahabatnya berupaya mengukuhkan kenabian dan memulyakan kewalian, suatu tujuan
yang dipenuhi Tuhan dengan Kemahakuasaan-Nya. Inilah perbedaan yang jelas
antara karomah dan mukjizat. Pengejawantahan karomah bagi wali-wali adalah
suatu keajaiban kedua, karena segala keajaiban harus dirahasiakan. Syaikhku pernah mengatakan bahwa jika seorang wali
mengungkapkan kewaliannya dan mengaku menjadi wali, kebenaran keadaan ruhaninya
tidak terkurangi karenanya, tetapi jika ia bersusah payah memperoleh
kemasyhuran, ia tersesat karena kebanggaan diri.
Sumber : Kasyful Mahjub Karya Al Hujwiri