Perbedaan Antara Mukjizat dan Karomah

Karena sudah ditunjukkan bahwa kedua macam keajaiban itu tidak bisa ditampilkan oleh seorang gadungan, kini kami harus membedakan lebih jelas lagi kedua. Mukjizat melibatkan publisitas sedangkan karomah melibatkan kerahasiaan, karena akibat dari yang pertama ialah mempengaruhi orang lain, sementara akibat dari yang kemudian dikhususkan bagi orang yang menampilkan karomah itu. Lagi pula, pelaku mukjizat benar-benar yakin bahwa ia telah menampilkan suatu keajaiban yang luar biasa, sementara pelaku karomah tak bisa pasti apakah ia telah sungguh-sungguh menampilkan suatu keajaiban atau apakah ia secara tak terasa tertipu (istidroj). Ia yang memperlihatkan mukjizat mempunyai wewenang atau hukum. 

Pada pihak lain, ia yang memperlihatkan karomah tak ada pilihan lain kecuali menyerahkan dirinya (kepada kehendak Tuhan) dan menerima peraturan-peraturan yang diwajibkan kepadanya, karena karomah wali bagaimanapun juga tak pernah bertentangan dengan hukum yang dipancangkan oleh  seorang nabi. Bisa dikatakan: “Jika mukjizat merupakan bukti kebenaran seorang nabi, dan jika sungguhpun demikian engkau menyatakan bahwa keajaiban-keajaiban sejenis bisa ditampilkan oleh seorang yang bukan nabi, lalu keajaiban-keajaiban itu menjadi peristiwa yang luar biasa (mu’tad); maka, hujahmu tentang realitas mukjizat menghapuskan argumenmu yang mengukuhkan realitas karamah.” Kujawab: “Bukan ini masalahnya. 
Perbedaan Antara Mukjizat dan Karomah1

Karamah seorang wali sama dengan, dan menunjukkan bukti yang sama seperti mukjizat seorang nabi: kualitas i’jaz (yang tidak bisa ditiru) yang ditunjukkan pada satu contoh tidak mengurangi kualitas yang sama dalam contoh yang lain.” Ketika orang-orang kafir menempatkan Khubayb pada tiang gantungan di Makkah, Rasul yang ketika itu sedang berada di dalam masjid madinah, melihatnya dan memberitahu para sahabat apa yang terjadi padanya. Tuhan juga menyingkapkan tabir dari mata Khubayb, sehingga ia melihat Rasul dan berseru, “Assalamu’alaikum!” dan Tuhan menyebabkan rasul mendengar salamnya, serta menyebabkan Khubayb mendengar jawaban Rasul. Nah, fakta bahwa Rasul di Madinah melihat Khubayb di Makkah adalah mukjizat, dan fakta bahwa Khubayb di Makkah melihat Rasul di Madinah juga merupakan suatu tindakan yang luar biasa. Karena itu, tidak ada perbedaan antara ketidakhadiran dalam waktu dan ketidakhadiran dalam tempat, karena karomah Khubayb ditampilkan ketika ia tidak berada dalam tempat yang sama dengan Rasul, dan karomah pada masa-masa kemudian ditampilkan oleh orang-orang yang tidak sejaman dengan Rasul. Inilah perbedaan yang jelas dan bukti yang nyata bahwa karomah tak akan mungkin bertentangan dengan I’jaz (keajaiban yang ditampakkan oleh seorang nabi). 

Karomah tidak terkukuhkan kecuali karomah itu bersaksi atas kebenaran orang yang telah memperlihatkan mukjizat dan karomah tidak dianugerahkan kecuali kepada seorang mukmin sejati yang membawa kesaksian semacam itu. Karomah kaum muslim merupakan suatu keajaiban yang luar biasa (mukjizat). Dari Rasulullah, karena sebagaimana hukumnya senantiasa, tentu bukti kebenarannya (hujjaj) juga senantiasa berlaku. Wali adalah saksi-saksi kebenaran misi Rasul, dan tidaklah mungkin karomah akan diperlihatkan oleh seorang yang kafir (begana).


Pada topik ini ada sebuah kisah tentang Ibrahim Khawwas, yang sangat tepat untuk dipaparkan di sini. Ibrahim berkata : “Aku pergi mengarungi padang pasir yang merupakan hal biasa bagiku dalam rangka melepaskan diri dari urusan-urusan duniawi (tajrid). Setelah ku berjalan beberapa jauh, aku bertemu seseorang dan ia meminta agar ia diijinkan menemaniku. Kulihat ia, dan terasa ada sesuatu yang tidak enak di hati. Ia berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim, jangan gelisah. Aku seorang Kristen, dan salah seorang Sabian (pendeta). Aku berasal dari Rum dengan harapan menjadi sahabatmu.” Ketika tahu bahwa ia seorang kafir, aku malah tenang, dan merasa lebih mudah bersahabat dengannya dan memenuhi kewajiban-kewajibanku kepadanya. Aku berkata ; “Wahai pendeta, aku takut jangan-jangan engkau akan menderita karena kurang makan dan minum, karena aku tak punya apa-apa. “Wahai Ibrahim” katanya, “Betapa masyhur engkau di dunia, dan masihkah engkau mencemaskan soal makan dan minum? ” Aku kagum akan keteguhan hatinya dan menerimanya sebagai sahabatku supaya dapat menguji pernyataannya. Setelah berjalan tujuh hari tujuh malam, kami ditimpa kehausan. Ia berhenti dan berseru ; “Wahai Ibrahim, mereka meniupkan nafiri pujian terhadapmu ke seluruh dunia. Nah biarlah kusaksikan hak-hak istimewa kedekatan (hustakhiha) yang kau miliki di istana ini (yakni seberapa jauh engkau ridho dengan Tuhan), karena aku rasa-rasanya tak dapat bertahan lagi.” Kurebahkan kepalaku di tanah dan berseru “Ya Tuhan, jangan Kau permalukan aku di hadapan orang kafir ini yang berprasangka baik terhadap diriku!” Ketika kuangkat kepalaku, kulihat sebuah talam berisi dua potong roti dan dua cangkir air. Kami makan dan minum, dan kemudian meneruskan perjalanan. Setelah tujuh hari berjalan, aku memutuskan akan mengujinya sebelum ia memaksaku untuk membuktikan diri lagi. “Wahai pendeta” kataku, “Kini ganti engkau”. “Biar kulihat hasil-hasil mujahadahmu.” Dia merebahkanb kepalanya di atas tanah dan mulutnya komat kamit mengucapkan sesuatu. Tak lama kemudian muncul sebuah talam berisi empat potong roti dan empat cangkir air. Aku kagum campur cemas dan putus asa dengan keadaan diriku. “Ini terjadi,”kataku, “Walaupun dia seorang kafir, bagaimana aku bisa makan atau minum darinya?” Dia menyuruhku mencicipinya, tetapi aku menolak, seraya mengatakan, “Engkau tidak patut seperti ini, dan ini tidak selaras dengan keadaan rohanimu.” Jika aku menganggapnya sebagai karomah, karomah tidak dianugerahkan kepada orang kafir, dan jika menganggapnya sebagai pertolongan (ma’onah), aku harus mencurigaimu jangan-jangan engkau seorang gadungan. Dia berkata : “Rasakan, wahai Ibrahim!” Kuberikan kepadamu dua kesenangan ; “Pertama, masuknya aku ke dalam Islam (di sini ia mengucapkan syahadat), dan kedua, kehormatan besar sebagaimana engkau dimuliakan oleh Tuhan.” Bagaimana bisa begitu?” tanyaku. Dia menjawab : “Aku tak punya kekuatan-kekuatan yang menakjubkan, tetapi rasa Maluku kepadamu membuat aku merebahkan kepalaku ke tanah dan memohon kepada Tuhan untuk memberikan kepadaku dua potong roti dan dua cangkir air, jika agama Muhammad benar, dan dua potong roti dan dua cangkir lagi jika Ibrahim Khawwas salah seorang wali Allah.” Kemudian Ibrahim makan dan minum, dan orang yang menjadi pendeta itu sadar akan kebenaran dan kemuliaan Islam.


Nah, hal yang menyalahi kebiasaan ini meskipun berkenaan dengan karomah seorang wali, adalah sama dengan mukjizat yang ditampilkan oleh nabi-nabi, tetapi jarang terjadi, dalam tidak adanya seorang nabi, bukti dianugerahkan kepada orang lain, atau dalam kehadiran seorang wali, sebagian kekuatan mukjizati nabi dialihkan kepada orang lain. Sebenarnya, akhir kewalian hanyalah permulaan kenabian. Pendeta itu adalah salah seorang (wali) yang tersembunyi, seperti ahli-ahli sihirnya Fir’aun. Ibrahim mengukuhkan kekuatan nabi Muhammad saw. Untuk menyalahi kebiasaan dan sahabatnya berupaya mengukuhkan kenabian dan memulyakan kewalian, suatu tujuan yang dipenuhi Tuhan dengan Kemahakuasaan-Nya. Inilah perbedaan yang jelas antara karomah dan mukjizat. Pengejawantahan karomah bagi wali-wali adalah suatu keajaiban kedua, karena segala keajaiban harus dirahasiakan. Syaikhku  pernah mengatakan bahwa jika seorang wali mengungkapkan kewaliannya dan mengaku menjadi wali, kebenaran keadaan ruhaninya tidak terkurangi karenanya, tetapi jika ia bersusah payah memperoleh kemasyhuran, ia tersesat karena kebanggaan diri.

Sumber : Kasyful Mahjub Karya Al Hujwiri
Suara Tokoh21
Suara Tokoh Updated at: 12:26 AM
Perbedaan Antara Mukjizat dan Karomah | Suara Tokoh | 5