Dia mempunyai suatu ajaran khas dalam tasawuf dan merupakan teladan bagi sejumlah orang yang mengikuti ajaran tasawuf, yang mengikuti dia dan disebut kaum Nuriyah. Orang yang mengikuti jalan tasawuf itu terdiri dari dua belas aliran ; dua di antaranya dikutuk (mardud), sementara sisanya yang sepuluh diterima (maqbul). Yang diterima ini ialah muhasibiyah, qashshariyah, thayfuriyah, Junaydiyah, Nuriyah, Sahliyah, Hakimiyah, Kharraziyah, Khafifiyah dan Sayyariyah. Semuanya ini benar dan dari ahlussunnah. Dua aliran yang dituduh sesat itu pertama, Hululiyah, yang mengambil namanya dari doktrin inkarnasi (hulul) dan inkorporasi (imtizaj), dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran kaum antromoforfis salami dan kedua, Hallajiyah yang meninggalkan hukum suci (syari’at) dan telah menmpuh jalan bid’ah, dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran Ibahtiyah dan aliran Farisiyah. Dalam buku ini ada sebuah bab tentang dua belas aliran dan dijelaskan pula perbedaan doktrin mereka masing-masing.
Nuri menempuh jalan yang terpuji dalam menolak perbuatan baik yang dibuat-buat (keriya’an) dan dorongan hawa nafsu dan tetap menjalani mujahadat. Diriwayatkan bahwa ia berkata ; “Aku datang mengunjungi Junayd dan mendapatkannya sedang duduk di kursi kemahaguruan (mushaddar). Aku berkata kepadanya ; “Wahai Abul Qasim, engkau telah menyembunyikan kebenaran dari mereka dan mereka telah menempatkanmu pada kedudukan yang terhormat ; Meskipun aku telah beri tahu mereka yang sebenarnya, tetapi mereka melempariku dengan batu-batu,” karena keriya’an sesuai dengan hawa nafsu dan keikhlasan adalah lawannya, serta orang membenci siapapun yang melawan keinginan-keinginan mereka dan mencintai siapapun yang memenuhi keinginan-keinginan meraka. Nuri adalah sahabat Junayd dan murid Sari. Dia bergabung dengan syaikh-syaikh yang telah bertemu Ahmad bin Habil Hawari. Dia adalah penyusun ajaran-ajaran yang musykil dan ujaran-ujaran bagus mengenai bermacam cabang ilmu mistik.
Diriwayatkan bahwa ia berkata ; “Persatuan dengan Tuhan adalah perpisahan dari segala yang alin, dan perpisahan dari segala yang lain adalah persatuan dengan-Nya, “yaitu seseorang yang pikirannya bersatu dengan Tuhan, dia terpisah dari segala yang lain, dan sebaliknya ; karena itu, persatuan pikiran dengan Tuhan merupakan perpisahan dari memikirkan benda-benda ciptaan dan berpaling dari fenomena adalah berpaling kepada Tuhan. Aku telah membaca dalam hikayat-hikayat bahwa sekali peristiwa Nuri berdiri di kamarnya selama tiga hari tiga malam, tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya atau terus menangis. Junayd pergi menemuinya dan berkata ; “Wahai Abul Hasan, jika engkau mengetahui bahwa beratap keras-keras kepada Tuhan adalah sesuatu yang diperlukan, katakan kepadaku, supaya aku juga bisa meratap keras-keras ; tetapi jika engkau mengetahui bahwa ini tak perlu, serahkan dirimu kepada keridhaan dengan kehendak Tuhan, agar hatimu bisa bahagia.” Nuri kemudian berhenti menangis dan berakat ; “Engaku telah mengajarku dengan baik, wahai Abul Qosim!” Diriwayatkan bahwa dia berkata ; “Dua hal yang sangat jarang pada jaman kita ialah seorang alim yang mengamalkan apa yang dia ketahui dan seorang ahli ma’rifat yang berbicara dari kenyataan ihwalnya sendiri, “yakni ilmu dan ma’rifat kedua-keduanya langka karena ilmu bukanlah ilmu jika tidak diamalkan, dan ma’rifat bukanlah ma’rifat jika tidak mempunyai kenyataan. Nuri menyebutkan kejadian pada zamannya sendiri, tetapi hal itu semua langka di sepanjang zaman dan keduanya tetap langka pada masa kini. Siapapun yang berupaya mencari orang-orang alim dan ahli-ahli ma’rifat, maka ia akan menyia-nuiakan waktunya dan tidak akan menjumpai mereka. Hendaknya ia berupaya agar bisa melihat ilmu di setiap tempat, dan hendaknya ia berpaling dari dirinya sendiri, dan hanya berpaling kepada Tuhan agar dia bisa melihat ma’rifat di manapun. Hendaknya dia mencari ilmu dan ma’rifat dalam dirinya sendiri, dan hendaknya dia menuntut amal dan kenyataan dari dirinya sendiri. Diriwayatkan bahwa Nuri berkata ; “Orang yang menganggap segala sesuatu sebagai ditentukan oleh Tuhan, maka dia berpaling kepada Tuhan dalam segala sesuatu,” karena dia menemukan ketentraman dalam memandang Sang Pencipta, bukan benda-benda ciptaan, sedangkan mereka akan selalu malang jika menganggap segala sesuatu sebagai sebab musabab tindakan-tindakan. Berbuat demikian adalah syirik karena sebuah sebab tidaklah maujud dengan sendirinya, tetapi bergantung pada Sang Penyebab (Pencipta sebab). Bilamana mereaka berpaling kepada-Nya mereka terlepas dari duka nestapa.
Dikutip dari kasyful Mahjub "Al-Hujwiri"