Ketauhilah bahwa karomah bisa
dianugerahkan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar kewajiban-kewajiban
hukum agama. Kedua, golongan kaum muslim sepakat mengenai hal ini,juga secara
akal tidak mungkin, karena karomah semacam itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan
pengejawantahannya tidak bertentangan dengan prinsip hokum agama, dan di lain
pihak juga sulit bagi pikiran utk memahaminya sebagai suatu genus (kelas).
Karomah adalah tanda kelurusan seorang wali, yang tak dapat dimanifestasikan
pada seorang gadungan, kecuali sebagai tanda bahwa pengakuan itu palsu. Inilah
suatu tindakan yang luar biasa (fi’li Naqidh I sadat), yang dilakukan selagi ia
masih terkena kewajiban-kewajiban agama, dan barang siapa mampu, melalui
pengetahuan yang diberikan kepadanya oleh Allah swt, membedakan dengan metode
deduksi apa yang benar dari apa yang palsu, ia juga seorang wali.
Sebagian dari
kalangan sunni berpendapat bahwa karomah terbukti adanya, namun tidak sampai ke
derajat mukjizat. Mereka tidak setuju, umpamanya, bahwa do’a-do’a bisa dijawab
dan dipenuhi dan seterusnya, yang bertentangan dengan adat kebiasaan. Aku (;
Ali bin Utsman / Al Hujwiri) bertanya : “Apakah kau anggap salah dilakukannya
oleh wali sejati, sementara ia terkena kewajiban-kewajiban agama, suatu
tindakan yang berada di luar kebiasaan?” jika mereka mengatakan bahwa ini
bukanlah sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah, pernyataan ini batal, dan
jika mereka mengatakan bahwa ini merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan,
tetapi penampilannya lewat wali sejati melibatkan penghapusan kenabian dan
pengingkaran hak-hak istimewa yang khusus bagi nabi-nabi, pernyataan ini juga
tidak bisa diterima, karena wali secara khusus dicirikan dengan karomah dan
nabi dengan mukjizat, dan karena wali adalah wali, dan nabi ak nabi, tiada
kesamaan antara keduanya utk menguatkan tindakan pencegahan semacam itu.
Kemuliaan nabi-nabi bergantungan
pada peringkat mulia mereka dan pada
keterlindungan mereka dari tindakan dosa, bukan pada karomah atau mukjizat yang
menyalahi adat kebiasaan. Semua nabi sama sejauh mereka semua memiliki kekuatan
utk melakukan mukjizat-mukjizat seperti itu (I’jaz), namun derajat sebagian
lebih tinggi dari pada yang lain.
Karena, sekalipun ada persamaan berkenaan
dengan tindakan-tindakan mereka ini, sebagian nabi lebih unggul dari pada yang
lain, mengapa karomah yang menyalahi adat kebiasaan tidak dianugerahkan juga
kepada wali-wali, meskipun nabi-nabi lebih unggul dari pada mereka? Dan karena,
dalam masalah nabi-nabi, sesuatu tindakan yang menyalahi adat kebiasaan tidak
menyebabkan salah satu dari mereka menjadi lebih utama atau lebih mendapatkan
hak-hak istimewa secara khusus dari pada yang lain, demikian juga, dalam
masalah wali-wali, tindakan serupa tidaklah menyebabkan seorang wali menjadi
lebih mendapatkan hak-hak istimewa secara khusus dari pada seorang nabi, yakni
wali-wali tidak menyerupai dalam jenis (Hamsan) dengan nabi-nabi.
Bukti ini
akan melenyapkan, bagi orang-orang yang berakal, kesulitan-kesulitan yang
ditimbulkan oleh masalah ini.” Namun, anggaplah, “bisa dikatakan,” bahwa wali
yang karomah-karomahnya menyalahi adat kebiasaan mengaku sebagai nabi”. Aku (; Al Hujwiri) jawab bahwa hal ini tidak
mungkin karena kewalian melibatkan kejujuran, dan ia yang mengatakan kepalsuan
bukanlah wali. Selanjutnya, wali yang mengaku-ngaku sebagai nabi, berarti ia
mengaku-aku memiliki mukjizat, yang merupakan kekafiran.
Karomah hanya
dianugerahkan kepada seorang beriman yang bertakwa, dan kepalsuan adalah
ketidak taqwaan. Dengan demikian, karomah wali mengukuhkan bukti kebenaran
nabi. Tak ada kesulitan dalam merujukkan dua golongan keajaiban ini. Rasul
mempertahankan nubuatnya dengan mengukuhkan realitas mukjizat, sementara wali,
dengan karomah ia ditampilkan, mengukuhkan kenabian Rasul dan kewaliannya. Maka
dari itu, wali sejati mengatakan hal yang juga dikatakan oleh nabi sejati.
Karomah wali sama dengan mukjizat nabi. Seorang mukmin, yang melihat karomah
seorang wali, semakin menyakini kebenaran nabi, bukannya bertambah ragu-ragu,
sebab tak ada pertentangan antara pengakuan-pengakuan yang diungkapkan oleh
mereka. Begitu juga, dalam hukum, ketika sejumlah ahli waris sepakat dengan
pengakuan mereka, jika salah seorang di antara mereka menguatkan pengakuannya,
maka pengakuan yang lainnya terkukuhkan, tapi tidaklah demikian jika pengakuan
mereka bertentangan.
Oleh karenanya, bilamana seorang nabi mengemukakan
mukjizat-mukjizat sebagai bukti kebenaran kenabiannya. Dan bilamana
pengakuannya dikuatkan oleh seorang wali, tidaklah mungkin akan timbul kesulitan.
Sumber ; Kasyful Mahjub Karya Al Hujwiri