Dia sangat alim dalam teori yang benar tentang harapan kepada Tuhan, sehingga Hushri berkata : “Tuhan mempunyai dua Yahya, satu seorang nabi dan satunya lagi seorang wali. Yahya bin Zakariyya menempuh jalan takut sehingga semua penempuhannya dikuasai oleh rasa takut dan putus harap akan keselamatan mereka, sedangkan Yahya bin Mu’adz menempuh jalan harap sehingga dia mengikat erat tangan semua penempuhnya pada harap.” Mereka berkata kepada Hushri : “Keadaan Yahya bin Zakariyya dikenal luas, namun bagaimanakah keadaan Yahya bi Mu’adz?” dia menjawab : “Aku diberitahu bahwa dia tak pernah berada dalam kebodohan dan tak pernah melakukan dosa-dosa besar.” Dalam amalan ibadah, dia menunjukkan suatu keteguhan mendalam yang tak mampu dilakukan oleh orang lain. Seorang muridnya berkata kepadanya : “Wahai Syaikh, maqam-mu adalah maqam harap, tetapi amalanmu adalah amalan orang-orang yang takut.” Yahya menjawab : “Ketahuilah anakku, bahwa meninggalkan ibadah kepada Tuhan, adalah tersesat.” Takut dan harap adalah dua sokoguru iman. Tidaklah mungkin seorang akan jatuh ke dalam kesesatan lantaran mengamalkan salah satu di antara keduanya. Orang-orang yang takut itu melakukan ibadah karena takut berpisah (dari Tuhan), dan orang-orang yang berharap itu melakukannya karena berharap dapat bersatu (dengan Tuhan). Tanpa ibadah rasa takut atau harap tak bisa benar-benar dirasakan, tetapi bilamana ada ibadah, rasa takut dan harap bersifat metaforis (ibarat); dan metafor-metafor tidak berguna bila ibadah diperlukan. Yahya menulis banyak buku, ujaran-ujaran tinggi, dan ajaran-ajaran yang murni. Dia adalah Syaikh pertama dari madzhab ini, sesudah Khalifah-khalifah, yang naik mimbar. Aku sangat menyukai ujaran-ujarannya yang indah dan menyedapkan talinga serta tinggi kandungannya.
Diriwayatkan bahwa dia berkata : “dunia ini adalah sebuah tempat duka cita dan akhirat tempat ketakutan yang mencekam, dan manusia tak pernah lepas dari duka cita dan ketakutan yang mencekam hingga dia masuk surge atau neraka.” Berbahagialah jiwa yang terlepas dari duka cita dan ketakutan yang mencekam, dan yang telah membebaskan pikiran-pikirannya dari kedua alam, dan yang telah sampai kepada Tuhan!” Yahya menganut doktrin bahwa kekayaan mengungguli kefakiran. Setelah mendapat banyak hutang di Rayy, dia bertolak ke Khurasan. Ketika dia sampai di Balkh, orang-orang di kota itu menahannya untuk beberapa saat agar dia bisa berbincang-bincang dengan mereka, dan merka memberinya seratus ribu dirham. Dalam perjalanannya kembali ke Rayy, dia diserang oleh penyamun-penyamun, yang berhasil merebut segala miliknya. Dia memasuki kota Nisyapur dalam keadaan yang sangat menyedihkan, di sinilah dia menghembuskan napas terakhirnya. Dia selalu dihormati dan dimuliakan oleh banyak orang.
dikutip dari Kasyful Mahjub "Al-Hujwiri"