Dia tergolong Syaikh awal, dan tekun beribadah. Dia mencapai tingkat tertinggi dalam fiqih dan teologi, dan dia belajar kedua ilmu dari Tsawri. Dalam tasawuf, dia adalah murid Abu Turab Nakhsyabi dan ‘Ali Nashrabadi. Ketika dia terkenal sebagai ahli ilmu kalam, Imam-imam dan orang-orang penting di Nisyapur mendesaknya untuk berkhutbah kepada penduduk, tetapi dia menolak seraya berkata : “Hatiku masih terkait dengan dunia, maka dari itu kata-kataku tak akan membekas di hati orang. Berbicara kosong akan merendahkan harkat ilmu kalam dan menghina hukum suci. Yang boleh bekhutbah hanyalah dia yang diamnya menganiaya agama, dan yang bicaranya akan menyingkirkan kezaliman.” Ketika ditanya mengapa ujaran-ujaran kaum Muslim dahulu lebih membuahkan hasil daripada perkataan-perkataan tokoh-tokoh sezamannya, dia menjawab : “Karena mereka berbicara demi Keagungan Islam dan keselamatan jiwa manusia dan keridhaan Tuhan Yang Maha Pengasih, sedangkan kita berbicara demi keagungan diri kita sendiri dan mencari harkat duniawi dan suka cita manusia semata-mata.” Barangsiapa berbicara menurut kehendak Tuhan dan karena Tuhan, kata-katanya mempunyai kekuatan dan wibawa yang berkesan pada orang-orang durjana, tetapi jika seseorang berbicara menurut kemauannya sendiri, kata-katanya lemah dan tak berbobot serta tidak bermanfaat bagi pendengar-pendengarnya.
Dikutip dari Kasyful Mahjub - Al-Hujwiri