Dia adalah putra seorang Nubia, yang bernama Tsauban. Dia adalah salah seorang yang terbaik dari mazhab (komunitas sufi) ini, dan salah seorang ahli keruhanian paling terkemuka (‘ayyaran) mereka, karena menempuh jalan penderitaan dan celaan (malamat). Semua orang Mesir mengkhawatirkan keadaannya yang sebenarnya, dan tidak percaya kepadanya sampai dia meninggal dunia. Di malam kematiannya, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah saw yang bersabda : “Aku datang menemui Dzun Nun, wali Allah.” Dan sesudah kematiannya, kata-kata berikut didapati tertulis pada keningnya : Ini adalah kekasih Tuhan, yang mati dalam mencintai Tuhan, dibunuh oleh Tuhan. Pada saat penguburannya, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya, dan mengembangkan sayap-sayap mereka bersam-sama seakan-akan memayunginya. Pada saat melihat peristiwa ini, semua orang Mesir merasa menyesali ketidakadilan yang telah mereka perbuat terhadapnya. Dia mempunyai banyak ujaran yang bagus mengenai prinsip-prinsip ilmu mistik. Dia mengatakan sebagai contoh ‘ “Ahli makrifat (‘arif) bertambah miskin setiap hari, karena dia semakin mendekati Tuhannya setiap saat,” karena dia menyadari kedahsyatan kekuasaan Tuhan, dan bilamana keagungan Tuhan telah merenggut hatinya, dia menyadari betapa jauh dia dari Tuhan, dan bahwa tiada jalan untuk mencapai-Nya ; maka dari itu dia semakin miskin. Untuk itu Musa berkata, ketika dia berbincang-bincang dengan Tuhan ; “Wahai Tuhan, di mana akan kucari Engkau?” Tuhan menjawab ; “Di antara orang-orang yang hatinya remuk.” Musa berkata ; “Wahai Tuhan, tidak ada hati yang lebih remuk dan berantakan daripada hatiku.” Tuhan menjawab : “Nah, Aku ada di mana engkau ada.”
Karena itu, seseorang yang mengaku mengenal Allah, sementara dia tidak miskin dan tidak takut, adalah seorang jahil lagi bodoh, bukan seorang ahli makrifat. Tanda dari ilmu sejati ialah ketulusan kehendak, dan kehendak yang tulus akan memutuskan sebab-sebab sekunder dan semua tali perhubungan, sehingga tak ada yang tinggal kecuali Tuhan. Dzun Nun berkata : “Ketulusan (shidq) adalah pedang Tuhan di bumi ; ia memotong setiap sesuatu yang ia sentuh.” Nah, ketulusan berhubungan dengan Sang Penyebab, dan bukan terletak dalam pengukuhan sebab-sebab sekunder. Mengukuhkan sebab-sebab sekunder berarti menghancurkan prinsip ketulusan.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Dzun Nun berlayar dengan murid-muridnya, dengan sebuah perahu di sungai Nil, suatu kebiasaan orang Mesir apabila mereka ingin berekreasi. Ada perahu lain bermuatan orang-orang yang suka berhura-hura yang perilaku mereka memuakkan murid-murid Dzun Nun. Murid-murid ini meminta Dzun Nun untuk memanjatkan doa kepada Allah memohon agar perahu itu tenggelam. Dzun Nun mengangkat kedua belah tangannya dan berseru : “Wahai Tuhan, sebagaimana Engkau telah memberi orang-orang itu suatu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka suatu kehidupan yang menyenangkan di akherat nanti.” Murid-muridnya tercengang dengan doanya itu. Ketika perahu itu mendekat dan penumpangnya melihat Dzun Nun, mereka mulai menyesal dan minta maaf, danmeremukkan kecapi-kecapi mereka dan bertobat kepada Tuhan. Dzun berkata kepada murid-muridnya ; “Suatu kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti adalah bertobat di dunia ini. Kalian dan mereka semua puas tanpa merugikan siapa pun.”
Jadi dia bertindak karena kasih sayangnya yang teramat sangat terhadap kaum muslim, mengikuti teladan Rasul saw, yang bagaimanapun perlakuan jahat yang beliau terima dari orang-orang kafir, tak pernah berhenti berucap ; "Ya Tuhan, bimbinglah umatku, karena mereka tidak tahu".
Diambil dari buku Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri