Mengikuti pendapat Ibnu Miskawaih, Tusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (sa’adat-I quswah) adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Konsep kebahagiaan utama itu pada hakikatnya berbeda dengan gagasan Aristoteles mengenai kebahagiaan yang hampa akan unsure-unsur angkasa dan juga tidak menujuk kepada kedudukan kosmik manusia. Kebaikan-kebaikan Plato menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan (yang berasal dari Trinitas jiwa yakni akal, kemarahan dan hasrat). Dan keterbedaan mereka menjadi tujuh, sebelas, duabelas dan sembilanbelas spesies, yang diberikan oleh Ibnu Miskawaih, tampak menonjol sekali dalam etika Tusi ; bedanya hanyalah bahwa dia mengurangi sembilanbelas spesies menjadi duabelas spesies. Tapi dengan mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles pada jiwa akal teoritis, akal praktis, kemarahan dan hasrat, dan tidak seperti Ibnu Miskawaih, Tusi mengambil kesimpulan yang adil dari kebudayaan akal praktis tanpa menyangkal pandangan Plato mengenai fungsi yang tepat dan selaras dari tiga kekuatan jiwa itu. Tidak seperti Aristoteles, tapi seperti Ibnu Miskawaih, dia menempatkan kebajikan (Taffadhdhul) di atas keadilan, dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan.
Etika Menurut Nasir Al Din Tusi 1, Etika Menurut Nasir Al Din Tusi, Etika Menurut Nasir Al Din Tusi 3
Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan, baik aksesnya maupun kerusakannya. Bagi Galern kejahatan merupakan suatu penyakit jiwa. Al – Qur’an, setelah mengungkapkan prinsip-prinsip etik umum dari sikap yang tak berlebihan, menyatakan bahwa kejahatan merupakan penyakit hati. Ibnu Miskawaih, setelah menyebutkan satu demi satu delapan kejahatan umum, yaitu kelihaian dan kebodohan (safah dan balahat), gegabah dan pengecut (tahawwur dan jubun), pemanjaan dan pemantangan (syarrahat dan khumud), kelaliman dan penderitaan (jaur dan mahanat), berdasarkan pola dari Aristoteles, menggambarkan secara panjang lebar sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan apakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau keberkurangan kemarahan dan hasrat. Masalah ini ditangani oleh Tusi, dan dia menemukan pemecahannya, karena kepintarannya. Penyakit merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan (I’tidal). Aristoteles, dan juga Ibnu Miskawaih, memandang penyimpangan ini dari segi jumlah (kammiyat) dan karena itu berlebihan (ifrat) dan keberkurangan (tafrid) suatu keadaan, yang bagi mereka hanyalah dua sebab penyakit moral. Tusi untuk pertama kalinya berpendapat bahwa penyimpangan bukan hanya dari segi jumlah tapi juga dari segi mutu, dan penyimpangan jenis baru ini dia menamakannya perbuatan yang tak wajar (rada’at) dengan begitu maka penyakit moral itu bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab ini :
Keberlebihan
Keberkurangan
Ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat
Ini cukup menjelaskan bahwa ketakutan membentuk ketakwajaran kemarahan, dan kesediah membentuk ketakwajaran hasrat.
Dengan menggunakan teori tiga sebab akibat penyakit jiwa itu Tusi mengolong-golongkan penyakit-penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan (hairot), kebodohan sederhana (jahl), dan kebodohan fatal (jahli murakkab) yang membentuk keberlebihan, keberkurangan dan ketakwajaran suatu penggolongan yang bukan berasal dari Miskawaih.
Kebingaungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan kebingungan, Tusi menyarankan agar orang yang bingung mestinya, pertama-tama, disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan penyangkalan, yaitu yang bertentangan, bersifat eksklusif, tidak dapat bermaujud dalam suatu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin bisa teryakinkan bahwa jika suatu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika ia salah, ia tidak mungkin benar. Setelah dia memahami prinsip bukti diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai aturan-aturan silogisme atau memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi
Sumber : Para Filosof Muslim, MM. Syarif MA
0 komentar:
New comments are not allowed.