Abu 'Ali Al-Fudhayl bin 'Iyad

Suatu hari, seorang pedagang bepergian dari kota Merw. Teman-temannya menyarankan agar dia membawa pengawal, tapi dia berkata kepada mereka ; “Aku telah mendengar bahwa Fudhayl adalah seorang yang takwa kepada Tuhan.” Bukannya melakukan apa yang mereka inginkan, dia malah membawa seorang pembaca Al-Qur an di atas punggung seekor unta agar dia memperdengarkan bacaan Al-Qur an dengan sekeras-kerasnya siang dan malam selama perjalanan. Ketika mereka sampai di suatu tempat di mana Fudhayl menghadang, si pembaca Al-Qur an kebetulan sedang membaca ayat  : “Bukankah waktu telah bagi orang-orang beriman, agar hati mereka tunduk kepada panggilan Tuhan” (QS 57 :15).  Hati Fudhayl menjadi lembut.  Dia tinggalkan pekerjaan yang selama itu dia geluti. Setelah membuat daftar orang-orang yang pernah dia rampok, dia puas dengan tuntutan-tuntutan mereka terhadap dirinya.
Dia adalah seorang miskin (sh’alik) di kalangan sufi dan salah seorang tokoh sufi yang paling terkemuka dan terkenal. Semula dia biasa merampok antara Merw dan Baward, tetapi dia selalu cenderung kepada kesalehan dan menunjukkan sikap murah hati, sehingga dia tidak akan menyerang suatu kafilah yang di dalamnya ada wanita, atau tidak akan merampas harta benda seseorang yang sedikit, dan dia tidak merampas harta musafir-musafir.

Suatu hari, seorang pedagang bepergian dari kota Merw. Teman-temannya menyarankan agar dia membawa pengawal, tapi dia berkata kepada mereka ; “Aku telah mendengar bahwa Fudhayl adalah seorang yang takwa kepada Tuhan.” Bukannya melakukan apa yang mereka inginkan, dia malah membawa seorang pembaca Al-Qur an di atas punggung seekor unta agar dia memperdengarkan bacaan Al-Qur an dengan sekeras-kerasnya siang dan malam selama perjalanan. Ketika mereka sampai di suatu tempat di mana Fudhayl menghadang, si pembaca Al-Qur an kebetulan sedang membaca ayat  : “Bukankah waktu telah bagi orang-orang beriman, agar hati mereka tunduk kepada panggilan Tuhan” (QS 57 :15).  Hati Fudhayl menjadi lembut.  Dia tinggalkan pekerjaan yang selama itu dia geluti. Setelah membuat daftar orang-orang yang pernah dia rampok, dia puas dengan tuntutan-tuntutan mereka terhadap dirinya.

Kemudian dia pergi ke Mekkah dan bermukim di sana selama beberapa waktu dan berkenalan dengan beberapa wali Allah. Sesudah itu ia kembali ke Kufah ; di sini dia bersahabat dengan Abu Hanifah. Dia melepaskan hubungan-hubungan yang dijunjung tinggi oleh ahli-ahli hadits, dan dia adalah pengarang ujaran-ujaran tinggi mengenai kenyataan-kenyataan tasawuf dan teologi. Diriwayatkan bahwa dia berkata ; “Barangsiapa yang mengenal Allah sebagaimana Dia seharusnya dikenal, berarti dia beribadah kepada-Nya dengan segala kemampuannya.” Karena setiap orang yang mengenal Tuhan, mengakui kemuliaan dan kemurahan serta kasih sayang-Nya dan karena itu mencintai-Nya, dan karena dia mencintai-Nya, dia taat kepada-Nya sejauh dia mampu, sebab tidak sulit menaati yang dicintai. Karenanya, semakin mencintai, semakin taat, dan cinta semakin kuat dengan pengetahuan yang hakiki.” Diriwayatkan bahwa dia berkata “Dunia adalah rumah sakit jiwa, dan orang-orang yang ada di dalamnya adalah orang-orang gila, memakai belenggu-belenggu dan rantai-rantai.” Nafsu adalah belenggu kita dan dosa adalah rantai kita.

Fadhl bin Rabi’ meriwayatkan sebagai berikut : “Aku menyertai Harun Al-Rasyid ke Mekkah. Setelah kami melaksanakan ibadah haji, dia berkata kepadaku, “Adakah di sini hamba Tuhan yang bisa aku kunjungi?” Aku menjawab, “Ya, ‘Abdurr-Razzaq Shan’ani”. Kami pergi ke rumahnya dan berbincang dengannya sebentar. Ketika kami minta pamit, Harun menyuruhku bertanya apakah dia punya hutang-hutang. Dia berkata, “Ya,” dan Harun memerintahkan agar hutang-hutang itu dibayar. Setelah berada di luar, Harun berkata kepadaku, “Wahai Fadhl, hatiku masih ingin menemui seorang tokoh yang lebih besar daripada orang ini.” Aku mengajak dia pergi ke Sufyan bin ‘Uyaynah. Kedatangan kami berakhir seperti itu juga. Harun memerintahkan supaya membayar hutang-hutangnya dan segera meninggalkan tempat itu. Kemudian dia berkata kepadaku, “Aku ingat bahwa Fudhayl bin ‘Iyadh ada di sini ; marilah kita pergi menemuinya.” Kami menjumpainya di kamar atas sedang membaca sebuah ayat suci Al-Qur an. Ketika kami mengetuk pintunya, dia berseru, “Siapakah itu?” Aku menjawab, “Amirul Mu’minin.” 
“Apa hubunganku dengan Amirul Mu’minin? Katanya. 
Aku berkata, “Bukankah ada hadits Rasul yang mengatakan bahwa orang tidak boleh menghinakan dirinya karena ibadah kepada Tuahn?”
“Ya, Cuma kepasrahan kepada kehendak Tuhan (ridha) adalah kemuliaan yang abadi dalam pandangan kaum sufi ; engkau melihat kerendahan diriku, namun aku melihat kemuliaanku.” Kemudian dia turun membukakan pintu, seraya mematikan lampu dan berdiri di sudut. Harun masuk dan berusaha mencarinya. Tangan mereka bersentuhan. Fudhayl berseru, “Aduh! Tak pernah kurasakan tangan sehalus ini ; akan sangat mengagumkan jika tangan ini selamat dari azab Tuhan.” Harun mulai meneteskan air mata, dan tetesan demikian derasnya sehingga dia terisak-isak. Ketika sudah tenang kembali, Harun berkata, “Wahai Fudhayl, berilah aku nasehat” Fudhayl berkata ; “Wahai Amirul Mu’minin, leluhurmu (‘Abbas) adalah paman Al-Mushthafa (nabi Muhammad saw). Dia memohon kepada Nabi agar memberinya kekuasaan atas umat manusia. Nabi menjawab, “Wahai pamanku, aku akan memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri, yakni satu masa ketaatanmu kepada Tuhan adalah lebih baik daripada seribu tahun masa ketaatan orang-orang kepadamu, karena kekuasaan itu akan membawa penyesalan pada hari kiamat.” Harun berkata, “Nasehati aku lagi.” Fudhayl meneruskan ; “Ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz diangkat menjadi khalifah, dia memanggil Salim bin ‘Abdallah dan Raja bin Hayat, serta Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, dan berkata kepada mereka, “Apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini? Karena aku memandang kekhalifahan sebagai kesulitan, meskipun pada umumnya orang-orang mengatakannya sebagai keberuntungan.” Salah satu di antara mereka menjawab ; “Jika engkau hendak diselamatkan kelak dari hukuman Tuhan, pandanglah orang-orang muslim yang lebih tua darimu sebagai ayah-ayahmu, dan pemuda-pemudanya sebagai saudara-saudaramu, serta anak-anaknya sebagai anak-anakmu juga. Seluruh kawasan Islam adalah rumahmu dan penduduknya adalah keluargamu. Kunjungliah bapakmu, dan hormatilah saudaramu, serta sayangilah anak-anakmu itu.” Lalu Fudhayl berkata ; “Wahai Amirul Mu’minin, aku khawatir kalau-kalau wajahmu yang rupawan ini membawamu ke dalam api neraka. Bertakwalah kepada Tuhan, dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu kepada-Nya lebih baik dari ini.” Harun bertanya kepada Fudhayl apakah dia punya utang. Dia menjawab, “Ya, utang kepada Tuhan, yakni ketaatan kepada Tuhan ; celakalah aku, kalau Dia memanggilku untuk mempertanggungjawabkannya!” Harun berkata, “Wahai Fudhayl, aku berbicara tentang utang-utang kepada manusia.” Dia menjawab, “Terpujilah Tuhan! Kemuarahan-Nya kepadaku sungguh besar, dan aku tak punya alasan untuk mengeluhkan tentang-Nya kepada hamba-hamba-Nya.” Harun menghadiahkan kepadanya sekantong uang berjumlah seribu dinar, seraya berkata, “Gunakan uang ini untuk keperluanmu.” Fudhayl berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, nasehat-nasehatku tidak memberikan kebaikan kepadamu. Di sini pula engkau bertindak salah dan tidak adil.” Harun berseru, “Bagaiman itu?” Fudhayl berkata, “Kuinginkan engkau selamat, namun engkau mencampakkan aku ke dalam siksa neraka ; bukankah ini tidak adil?” Kami meninggalkannya dengan linangan air mata, dan Harun berkata kepadaku, “Wahai Fadhl, Fudhayl adalah seorang raja yang sejati.”

Semua ini menunjukkan kebenciannya terhadap dunia dan orang-orangnya, dan pelecehannya terhadap nikmat-nikmatnya, serta penolakannya untuk merendahkan dirinya di hadapan benda-benda duniawi demi memperoleh keuntungan duniawi.

Diambil dari Kitab terjemahan Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri
Suara Tokoh21
Suara Tokoh Updated at: 2:32 PM
Abu 'Ali Al-Fudhayl bin 'Iyad | Suara Tokoh | 5

0 komentar:

Post a Comment