Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansyur

Ibrahim bin Adham menuturkan kisah berikut ; “Ketika aku sampai di gurun pasir, aku bertemu seorang tua dan berkata kepadaku “Wahai Ibrahim, tahukah engkau tempat apa ini, dan mengapa engkau berkelana tanpa perbekalan dan hanya berjalan kaki? Aku tahu bahwa ia adalah syetan. Aku keluarkan dari bajuku empat danniq (uang hasil penjualanku di Kuffah) dan mencampakkannya serta berikrar bahwa aku akan melakukan sholat dengan empat ratus kali ruku’ untuk setiap mil perjalanan. Aku aku menetap empat tahun di gurun pasir, dan Tuhan memberiku roti setiap hari tanpa aku mencarinya. Selama itu khidhr menemaniku dan mengajariku nama agung Tuhan. Kemudian hatiku menjadi sepenuhnya hampa dari yang lain.“
Dia adalah seorang yang unik dijalannya, dan pemimpin orang-orang sezamannya. Murid dari Rasul Khidhr. Bertemu dengan sejumlah besar syaikh sufi di masanya, dan bersahabat dengan imam Abu Hanifah, yang darinya dia belajar ilmu ketuhanan. Pada usia mudanya, dia adalah seorang pangeran Balkh. Suatu hari, dia pergi berburu dan terpisah dari pengawalnya ketika dia sedang memburu seekor rusa. Tuhan menyebabkan rusa itu berkhotbah kepadanya dengan bahasa yang fasih ; “Apakah engkau dicipta untuk tujuan ini, atau apakah engkau diperintah untuk mengerjakan ini?” dia selalu bertobat, meninggalkan segala kebiasaannya dan memasuki jalan zuhud. Dia berkenalan dengan Fudhayl bin ‘Iyadh dan Sofyan Tsauri, dan bersahabat dengan mereka. Sesudah bertaubat dia tidak pernah makan makanan apapun kecuali apa yang di dapat dengan kerjanya sendiri. Ujaran-ujarannya mengenai seluk beluk tasawuf adalah asli dan mendalam. Junayd berkata ; “Ibrahim adalah kunci ilmu pengetahuan mistik.” Diriwayatkan bahwa dia berkata ; “Jadikan Tuhan sebagai sahabatmu dan tinggalkan saja manusia, “ yakni ketika seseorang benar-benar dan dengan tulus hati berpaling kepada Tuhan, dan kesungguhan berpalingnya dia kepada Tuhan menuntut agar dia berpaling dari manusia, karena masyarakat manusia ada kaitannya dengan berpikir tentang Tuhan. Bersahabat dengan Tuhan itu adalah ketulusan dalam memenuhi perintah-perintahnya, dan ketulusan dalam ibadah bersemi dari kemurnian cinta, dan cinta yang murni kepada Tuhan terjadi karena benci kepada hawa nafsu. Barangsiapa terbuai dengan hawa nafsu, dia terpisah dari Tuhan ; dan barangsiapa terpisah dari hawa nafsu dia hidup bersama Tuhan. Karenanya, kalian semua, umat manusia, berkenaan dengan dirimu ; Berpalinglah dari dirimu maka barulah engkau berpaling dari manusia. Engkau berbuat keliru berpaling dari manusia dan berpaling kepada dirimu sendiri, dan berurusan dengan dirimu sendiri, padahal tindakan-tindakan manusia ditentukan oleh kemurahan dan takdir Tuhan. Kelurusan lahir dan bathin (istiqomah) dari sang pencari dibangun di atas dua hal, yang satu bersifat teoritis, dan lainnya bersifat praktis. Yang pertama berupa memandang semua yang baik dan yang buruk sebagai sudah ditakdirkan oleh Tuhan, sehingga tidak ada sesuatu di alam semesta yang diam atau bergerak hingga Tuhan menjadikan sesuatu itu diam atau bergerak ; yang kedua berupa melaksanakan perintah Tuhan, tindakan yang benar terhadap Tuhan dan menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan. Takdir tak pernah bisa menjadi hujjah untuk menolak perintah-perintah-Nya.

Penolakan sejati terhadap manusia adalah tidak mungkin, sampai engkau menolak dirimu sendiri. Begitu menyangkal dirimu sendiri manusia diperlukan untuk memenuhi kehendak Tuhan ; dan begitu engkau berpaling kepada Tuhan, engkau diperlukan untuk mewujudkan keputusan Tuhan. Karena itu, tidak diperkenankan merasa puas dengan manusia. Jika ingin berpuas hati dengan sesuatu selain Tuhan, setidak-setidaknya berarti puas dengan yang lain, karena kepuasan dengan yang lain itu adalah memperhatikan tauhid, sedangkan kepuasan dengan diri sendiri mengukuhkan sikap menganggap sepi Tuhan pencipta (ta’thil). Karena alasan inilah syaikh Abdul Hasan Syaliba biasa mengatakan bahwa lebih baik pemula untuk berada di bawah wewenang seekor kucing daripada dibawah wewenang mereka sendiri, karena persahabatan dengan yang lain adalah demi Tuhan semata, sedangkan persahabatan dengan diri sendiri berarti memelihara hawa nafsu. 

Ibrahim bin Adham menuturkan kisah berikut ; “Ketika aku sampai di gurun pasir, aku bertemu seorang tua dan berkata kepadaku “Wahai Ibrahim, tahukah engkau tempat apa ini, dan mengapa engkau berkelana tanpa perbekalan dan hanya berjalan kaki? Aku tahu bahwa ia adalah syetan. Aku keluarkan dari bajuku empat danniq (uang hasil penjualanku di Kuffah) dan mencampakkannya serta berikrar bahwa aku akan melakukan sholat dengan empat ratus kali ruku’ untuk setiap mil perjalanan. Aku aku menetap empat tahun di gurun pasir, dan Tuhan memberiku roti setiap hari tanpa aku mencarinya. Selama itu khidhr menemaniku dan mengajariku nama agung Tuhan. Kemudian hatiku menjadi sepenuhnya hampa dari yang lain.“

Diambil dari Buku Kasyful Mahjub Karya Al-Hujwiri
Suara Tokoh21
Suara Tokoh Updated at: 8:56 AM
Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansyur | Suara Tokoh | 5

0 komentar:

Post a Comment