Abu Muhammad Ja’far bin Muhammad Shadiq

Diceritakan bahwa Dawud Tha’i mendatangi Ja’far Shadiq dan berkata ; “Wahai putra Rasulullah, nasihati aku karena pikiranku sedang gelap.” Ja’far menjawab ; “Wahai Abu Sulaiman, engkau adalah zahid pada zamanmu ; apa yang kau butuhkan dari nasihatku?” Dawud Tha’ i menjawab ; “Wahai putra Rasul, keluargamu mengungguli semua umat manusia, dan wajib bagimu memberi nasihat kepada semuanya.” “Wahai Abu Sulaiman,” seru Ja’far, “Aku khawatir kalau-kalau pada hari kebangkitan kakek buyutku akan menegurku ; “Mengapa tak kau penuhi kewajiban mengikuti langkah-langkahku?” Ini bukanlah suatu masalah yang bergantung pada keotentikan dan persaudaraan (dengan Muhammad saw), melainkan pada perbuatan baik di hadapan Kebenaran.” Dawud Tha’i mulai menangis dan berseru : “Wahai Tuhan, jika orang yang lempungnya dipola dengan air Kenabian, yang kakek buyutnya adalah Rasul, dan yang ibunya adalah Fathimah (Batul) – jika orang yang demikian terguncangkan oleh keragu-raguan, maka siapakah aku yang bahagia dengan urusanku (kepada Tuhan)?”
Dia terkenal di kalangan syaikh-syaikh sufi karena kecanggihannya dan wawasannya yang tajam tentang kebenaran ruhaniyah, dan dia telah menulis kitab-kitab masyhur yang menerangkan tasawuf. Diriwayatkan bahwa dia berkata ; “Barangsiapa yang mengenal Allah dia akan meninggalkan segala sesuatu yang lain.” Ahli makrifat (‘arif) mencampakkan “yang lain” (selain Allah) dan memutuskan hubungan dari hal-hal duniawi, karena makrifatnya adalah ketidaktahuan yang murni (nakirat), karenanya ketidaktahuan membentuk bagian dari makrifatnya, dan makrifat membentuk bagian dari ketidaktahuannya. Maka sang ahli makrifat terpisah dari khalayak ramai dan dari berpikir tentang mereka, dan dia hidup bersama dengan Tuhan. “yang lain” tak ada tempat dalam hatinya, dan keberadaan mereka tak terhiraukan olehnya.
Diriwayatkan bahwa dia berkata ; “Tiada pengabdian yang benar tanpa pertobatan, karena Tuhan telah menaruh pertobatan di depan pengabdian, dan berfirman ; “Orang-orang yang bertobat dan mengabdi” (QS 9 : 113)

Diceritakan bahwa Dawud Tha’i mendatangi Ja’far Shadiq dan berkata ; “Wahai putra Rasulullah, nasihati aku karena pikiranku sedang gelap.” Ja’far menjawab ; “Wahai Abu Sulaiman, engkau adalah zahid pada zamanmu ; apa yang kau butuhkan dari nasihatku?”
Dawud Tha’ i menjawab ; “Wahai putra Rasul, keluargamu mengungguli semua umat manusia, dan wajib bagimu memberi nasihat kepada semuanya.”
“Wahai Abu Sulaiman,” seru Ja’far, “Aku khawatir kalau-kalau pada hari kebangkitan kakek buyutku akan menegurku ; “Mengapa tak kau penuhi kewajiban mengikuti langkah-langkahku?” Ini bukanlah suatu masalah yang bergantung pada keotentikan dan persaudaraan (dengan Muhammad saw), melainkan pada perbuatan baik di hadapan Kebenaran.”
Dawud Tha’i mulai menangis dan berseru : “Wahai Tuhan, jika orang yang lempungnya dipola dengan air Kenabian, yang kakek buyutnya adalah Rasul, dan yang ibunya adalah Fathimah (Batul) – jika orang yang demikian terguncangkan oleh keragu-raguan, maka siapakah aku yang bahagia dengan urusanku (kepada Tuhan)?”

Suatu hari Ja’far berkata kepada sahabatnya : “Marilah kita berikrar bahwa siapa saja di antara kita yang akan mendapatkan keselamatan pada Hari Kebangkitan, akan memberikan syafa’at kepada yang lain” Para sahabat berkata : “Wahai putra Rasul, bagaimana mungkin engkau membutuhkan syafaat kami, karena kakekmu memberikan syafaat kepada semua umat manusia?” Ja’far menjawab : “Perbuatan-perbuatanku sedemikian rupa sehingga aku malu di hadapan kakekku pada Hari Akhir itu.”

Memahami kekeliruan-kekeliruan sendiri adalah mutu kesempurnaan, dan ciri orang yang mantap dalam kehadiran Ilahi, apakah itu nabi-nabi, wali-wali atau rasul-rasul. Rasulullah saw bersabda : “Apabila Tuhan menginginkan agar seorang itu baik, Dia membuatnya menyadari kekeliruan-kekeliruannya.”

Sumber : Kasyful Mahjub Karya Al-Hujwiri
Suara Tokoh21
Suara Tokoh Updated at: 8:09 PM
Abu Muhammad Ja’far bin Muhammad Shadiq | Suara Tokoh | 5