PROVINSI PALING BAHAGIA DI NEGERI 62



Sukses hidup suatu bangsa lebih dinilai bukan sebab seberapa tebal cadangan devisanya lagi, melainkan terlebih seberapa berbahagia. Itu maka ada indeks kebahagiaan untuk setiap bangsa.

 
Ternyata bukan bangsa yang kaya raya yang index happiness-nya paling tinggi, melainkan negara tidak sekaya sebesar Amerika Serikat, atau Rusia, atau Cina. Finlandia tahun lalu negara yang bangsanya paling bahagia, termasuk negara Skandinavia umumnya, selain Bhutan di Asia.


Ada beberapa indikatornya, yang pasti tidak harus kaya raya. Telaah sosial melihat, lekas bersyukur dan ekspektasinya dalam hidup tidak muluk-muluk yang membedakan mengapa ada negara kaya tapi kurang bahagia. Sebut Amerika dan Singapura. Tapi negara kecil dan tidak kaya lebih berbahagia.


Selama suatu bangsa tidak pernah merasa puas, selalu ingin meraih lebih lagi dan lebih lagi, semakin berkurang kebahagiaannya. Semakin selalu merasa tidak cukup, semakin mengurangi rasa bahagia. Itu maka lalu paradigma pendidikan dunia perlu berubah, dan mengacu bahwa bersekolah bukan lagi supaya anak didik menjadi kaya raya, atau menjadi mesin pencetak uang, melainkan agar mereka kelak menjadi berbahagia.


Kelebihan anak yang dididik bukan supaya kaya raya, anak menilai segala sesuatu bukan sebagai harga, melainkan sebagai nilai. Menghargai orang lain bukan dari apa yang orang pakai, apa merk mobilnya, seberapa besar rumahnya. Bukan karena ascribe status, melainkan achievement status. Orang dinilai dari integritas  dan karakternya, dari isi kepalanya.


Falsafah Jawa sak madyo, hidup secukupnya, hidup ugahari, dan sekarang berkembang gaya hidup frugal living, hidup minimalis bukan maksimalis, dinilai sebagai jalan menuju hidup yang lebih gampang memetik kebahagiaan. Generasi milenial yang pingin pensiun dini, memilih cara frugal living supaya bisa mengongkosi sampai hari tuanya kelak dengan hidup berbahagia. Tidak kerja sampai tua, kalau bekerja untuk menghidupi semata.


Banyak orang dulu kerja keras mati-matian, mengira uang yang dikumpulkan bisa memberinya kebahagiaan, ternyata tidak. Anak Jepang generari Baby Boomers kecewa kepada ayahnya yang gila kerja, dan kebahagiaan bukan di meja makan rumah, bukan di ruang keluarga, anak-anak kehilangan figur ayah yang seharian di luar rumah, lalu komit tidak mau seperti ayah mereka lagi.

 
Akibat gila kerja, menghasilkan kekayaan yang dikumpulkan sejak muda, dan sudah mengorbankan kesehatannya, sehingga belum tua amat sudah sakit-sakitan, lalu bertanya hidup apa artinya. Apa gunanya uang sebanyak itu. Paling hanya sepertiga atau kurang dari itu, uang yang dikumpulkan yang terpakai untuk diri sendiri sampai ujung hayat. Sisanya warisan untuk anak, dan kekayaan itu belum tentu membawanya hidup berbahagia.


Untuk berbahagia, betul perlu uang untuk basic need, tapi uang yang dikumpulkan berlimpah belum tentu bisa membeli kebahagiaan. Cukup makan, cukup pakaian, ada tempat berteduh, sehingga masih enak makan, enak tidur, dan masih mandiri, bisa jalan sendiri, tidak bergantung orang lain, tidak juga bergantung pada anak, itu jalan mulus menuju kebahagiaan. Hanya bila kita sehat, kita sudah puas dengan hidup pribadi, terbilang orang yang sudah selesai dengan dirinya, itulah pilihan. Dibanding kaya raya, sudah tidak enak makan, susah tidur, dan berjalan pun sudah payah, lalu merana dan bertanya buat apa hidup dilanjutkan.


Biro Pusat Statistik mencatat tahun lalu ada lima provinsi kita yang indeks kebahagiaannya tinggi dibanding ada lima lainnya rendah saja. Ternyata memang bukan provinsi yang kaya raya, yang pendapatan asli daerahnya tinggi, tapi mungkin secara kultur memilih tidak ngoyo, dan melihat hidup sebagai "numpang minum belaka".


Hikmah dan pembelajaran buat kita, secara individu, tentu saja tetap selain perlu memiliki integritas, kerja keras, dan teguh berbuat baik, ringan tangan dalam memberi, menolong, berbagi kepada semakin banyak orang. 


Di mata sosial kita dihargai dan menjadi orang terhormat, secara spiritualitas kita kaya. Orang yang madep ngalor sugih, madep ngidul sugih. Orang yang berdoa seindah-indahnya seakan semuanya Tuhan yang tentukan, dan bekerja seindah-indahnya seakan semua kita sendiri yang tentukan, kata Gde Prama. Ini juga yang mengantarkan kita hidup seimbang dunia akhirat, yang karenannya kita bisa happy. Selalu happy.


Provinsi Paling Bahagia di Indonesia:
1  Maluku Utara 76,34
2. Kalimantan Utara 76,33
3. Maluku 76,28
4. Jambi 75,17
5. Sulawesi Utara 74,78
Provinsi Paling Tidak Bahagia di Indonesia:
1. Banten 68,08
2. Bengkulu 69,74
3. Papua 69,87
4. Nusa Tenggara Barat 69,98
5. Jawa Barat 20,23


Ini kata statistik BPS tahun lalu. Kita bisa membacanya kenapa terjadi seperti ini, masih terlihat bukan karena kekayaan provinsi maka masyarakatnya menjadi lebih berbahagia.


Sikap terhadap kehidupan, falsafah lokal, lekas bersyukur, dan ekspektasinya tidak muluk-muluk. Misal tidak berharap menjadi orang kaya, menjadi menteri, atau apapun yang melebihi kapasitas atau kompetensi. Sudah cukup berbahagia kendati cuma menjadi rakyat biasa, menjadi orang yang hidup ugahari, tidak berlebih, cukup makan, cukup pakai, dan punya tempat berteduh. Namun apabila dari kerja keras, dan ujung setiap ikhtiar membuahkan berkah dan rejeki berlimpah, itulah bonus, bukan yang dikejar atau diekspektasi.

 

Oleh : Dr Handrawan Nadesul

Suara Tokoh21
Suara Tokoh Updated at: 3:55 AM
PROVINSI PALING BAHAGIA DI NEGERI 62 | Suara Tokoh | 5

0 komentar: